Selasa, 01 Desember 2009

ISLAM DI INGGRIS

 

Tumbuh Pesat di Tengah Sejumlah Ganjalan

Nama Resmi

The United Kingdom of Great Britain and the Northern Ireland

Ibu Kota

London

Cakupan Wilayah

England, Wales, Scotland dan Northern Ireland

Bentuk Negara

Constitutional Monarchy (Kerajaan Konstitusional)

Sistem Pemerintahan

Demokrasi Parlementer

Dasar Konstitusi

Tradisi dan Kebiasaan yang berlaku yang dikumpulkan secara bertahap

Partai-Partai Besar

Partai Buruh dan Partai Konservatif

Bahasa Resmi

Bahasa Inggris

Agama

Kristen Protestan (Mayoritas), Katolik, Protestan, Presbyterian, Orthodox, Yahudi, Islam, Hindu dan Budha.

Bendera

The Union Jack

Luas Wilayah

243.305 km2

Populasi

Rata-rata 246 orang per km2 (2001)

Mata Uang

Great Britain Poundsterling (GBP)

Kebijakan Luar Negeri

Melindungi keamanan dan meningkatkan pengaruh Inggris di dunia Internasional, serta mendukung terciptanya suatu tatanan internasional yang tertib dan aman

Masuknya Islam ke Inggris

Kehadiran Islam di Inggris bisa dilacak sejak 300 tahun yang lalu, yakni berawal dari rekrutmen para pelaut yang dilakukan oleh East India Company dari Yaman, Gujarat, SInd, Assam, dan Bengal. Mereka dijadikan laskar. Sebagian kecil dari mereka lalu menetap di kota-kota pelabuhan di Inggris, terutama London, Cerdiff, Liverpool, South Shields, dan Tyneside. Muslim di negara itu memiliki akar budaya yang berbeda satu sama lain.

Sekitar abad ke-19, sejumlah pengusaha Muslim juga telah berniaga ke kerajaan itu. Salah satunya adalah perusahaan terkenal ‘Mohamed’s Baths’ yang didirikan di Brighton oleh Sake Deen Mohammed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini bisa terlihat tatkala pada periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa islami, The Cresent, mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini adalah William Henry Quilliam (yang di komunitas Muslim dikenal sebagai Syaikh Abdullah Quillam), yang berprofesi sebagai pengacara. Dia masuk Islam pada 1887 setelah lama bermukim di Aljazair dan Maroko. Ditambah lagi dengan adanya gelombang migrasi kaum Muslim secara besar-besaran ke Inggris tahun 1950-an.

Pada 1951, penduduk Muslim di negara itu diperkirakan baru mencapai 23 ribu jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi penduduk Muslim di Inggris menjadi 82 ribu, dan pada 1971 sudah mencapai 369 ribu jiwa. Saat ini, jumlah penduduk Muslim di Inggris sekitar 2 juta jiwa. Membengkaknya angka migrasi ini, terutama dari negara bekas jajahan Inggris seperti Pakistan dan Bangladesh, disebabkan adanya peluang ketersediaan lapangan pekerjaan di Inggris, terutama industri baja dan tekstil yang berkembang pesat di Yokshire dan Lanchasire. Terbitnya Commonwealth Immigration Act of 1962, yang semakin memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris bagi warga negara bekas jajahan Inggris, juga turut mendorong laju migrasi ini.

Perkembangan Islam dan Posisi Kaum Muslim

Sebelum Tragedi 11 September, perkembangan Islam di negeri ini sangat pesat. Dari segi kuantitas bisa dilihat dari perkembangan yang disebut di atas. Demikian juga dari segi kualitas, kaum Muslim di sana tidak banyak mendapatkan kesulitan yang berarti tatkala berusaha mengimplementasikan keberagamaannya. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah Inggris yang secara tegas membebaskan seluruh warganya untuk memeluk dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Artinya, setiap warga negara Inggris tidak dibatasi dan dilarang untuk memeluk suatu agama apa pun. Negara tidak mengeluarkan agama resmi yang diakui oleh negara. Setiap warga negara dapat memeluk agama apa pun (termasuk di dalamnya tidak beragama sekalipun) walaupun agama tersebut baru, termasuk menjalankan seluruh ajarannya. Di samping itu, ini didukung pula oleh sikap masyarakat Inggris yang sangat tak acuh pada keberadaan agama selama mereka tidak merasa terganggu. Dari sinilah akhirnya perkembangan Islam begitu cepat.

Namun, di balik kebebasan yang ada masih terdapat ganjalan-ganjalan secara kolektif yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok yang ada. Sebagai contoh, hingga saat ini, banyak dari kalangan generasi muda Muslim yang rata-rata berasal dari Asia Selatan tengah mengalami pergulatan hebat yang kompleks, terutama terkait dengan persoalanan identitas mereka sebagai Muslim. Mereka cenderung mudah teralienasikan dari bingkai kemuslimannya sebagai akibat tingginya angka pengangguran, rendahnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kualitas iman, persoalan kehidupan wanita dalam ruang publik, perspektif yang bias dari media hingga isu-isu rasial.

Apalagi pasca Tragedi 11 September 2001, yang ternyata memberikan dampak yang sangat hebat bagi Muslim di Inggris. Bukan lagi seputar isu, namun lebih dari itu, tindakan rasial yang selama ini hanya sedikit jumlahnya menimpa kaum Muslimin di sana, setelah tragedi tersebut, dari sisi kuantitas semakin sering dialami oleh kaum Muslim di berbagai sektor kehidupan. Sikap rasis jamak dilihat di tempat-tempat pusat kebudayaan Islam. Sering terjadi, sebagian dari kaum Muslim yang bepergian mengalami tindakan serupa di bandar udara atau stasiun kereta api internasional. Untuk meredam kemungkinan dampak negatif yang dialami komunitas Muslim, sehari setelah serangan itu, Perdana Menteri Tony Blair menyatakan, “Tindakan yang tercela (pengeboman WTC) itu sangat kontras dengan nilai-nilai Islam. Mayoritas Muslim secara luas sangat luwes, orang-orang jujur, yang juga mengalami kengerian yang sama terhadap apa yang telah terjadi.”

Namun, pasca tragedi ini pula terjadi perubahan sikap pemerintah terhadap komunitas Muslim. Saat ini telah ditunjuk secara khusus oleh parlemen Inggris beberapa tenaga ahli yang ditugasi untuk mempelajari Islam secara mendetil untuk membantu pengambilan keputusan politik yang terkait dengan komunitas Islam. Dari sinilah posisi kaum Muslim di sana mulai mengalami sejumlah hambatan hingga marjinalisasi sistemik.

Memanfaatkan Momentum yang Ada

Jika kita lihat lebih dalam, seolah-olah kebijakan yang diambil oleh PM Tony Blair terkait dengan kebijakan dalam dan luar negerinya bertentangan satu dengan lainnya. Namun, jika ditilik lebih lanjut, ternyata apa yang diambil justru saling menguatkan. Memang, jika ditilik dari kebijakan luar negerinya, Inggris cenderung memusuhi Islam. Kondisi ini tampak pada bagaimana kengototan Inggris bersama AS menggempur Afganistan dan Irak yang menyiratkan secara tegas kebenciannya pada Islam. Belum lagi jika ditilik dari akar sejarah, Inggrislah yang menghancurkan Daulah Khilfah Islamiyah di Istambul Turki. Melalui konspirasi yang keji bersama antek-anteknya (Mustafa Kemal, dll), mereka secara berlahan tetapi pasti merongrong dan selanjutnya menggulingkan Khilafah sekaligus menggantinya dengan pemerintahan sekular ala Inggris. Dari sini dapat dipahami mengapa dalam kerangka politik luar negerinya, Inggris begitu ‘gelap mata’ terhadap negeri-negeri Islam.

Namun, kebijakan sebaliknya, yaitu melindungi warga Muslim, diambil dalam kebijakan politik dalam negeri Inggris. Bukan hanya warga Muslim yang sudah sejak lama menjadi warga negaranya, namun tokoh-tokoh Muslim pelarian dari berbagai negeri Muslim pun dapat dengan mudah mendapatkan suaka untuk selanjutnya melanjutkan aktivitasnya seperti yang dilakukan di negeri asalnya. Artinya, seluruh kaum Muslim, selama dia masih menjadi warga negara Inggris, akan senantiasa dibela dan dilindungi, baik tatkala dia berada di dalam wilayah Inggris maupun bukan. Walaupun secara ide mereka sangat berseberangan atau cenderung bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah, mereka bebas melakukannya.

Kebijakan yang seolah-olah ambigu antara satu dengan yang lain, jika kita telusuri lebih jauh tidak bertentangan satu sama lain. Justru yang ada adalah sesuai dengan doktrin politik luar negerinya, yaitu melindungi keamanan dan meningkatkan pengaruh Inggris di dunia Internasional, serta mendukung terciptanya suatu tatanan internasional yang tertib dan aman.

Namun, secara praktis kebijakan di atas muncul sebagai akibat dari pertama: institusi Inggris mengatur dan melindungi kebebasan setiap individu untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya. Pemerintah Inggris ingin tetap mencitrakan diri sebagai negara demokratis yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Oleh karena itu, setiap warga negara dijamin kebebasannya mengeluarkan pendapatnya walau berseberangan dengan pemerintah atau bahkan cenderung menghina. Sebagai contoh apa yang terjadi dalam demonstrasi menentang kebijakan Blair menggempur Irak. Para demonstran menggambarkan Blair sebagai kaki tangan Bush dengan replikasi Bush sebagai tuan sedangkan Blair sebagai anjing piaraan. Penghinaan ini tidak dituntut sama sekali oleh pemerintah. Kondisi ini menunjukkan betapa kebebasan mengeluarkan pendapat sangat dijunjung tinggi. Tokoh-tokoh Islam dapat dengan leluasa—tanpa ada rasa khawatir terkena undang-undang anti-subversif—menyampaikan ide-ide Islam yang notabene bertentangan secara frontal dengan ideologi sekular yang diusung oleh pemerintah Inggris. Dengan kebebasan ini pula, mereka dapat dengan mudah menyampaikan ide-ide Islam kepada khalayak ramai untuk kemudian mengajak mereka menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, untuk menghadapi politik Amerika. Kita tahu persis bahwa tokoh-tokoh Islam yang bersuara vokal tersebut pada intinya senantiasa menyerang politik AS. Kondisi ini menghasilkan keuntungan tersendiri bagi Inggris. Walaupun secara ideologi tidak ada perbedaan, terjadi perbedaan kepentingan antara Inggris dengan AS, baik dalam ekonomi atau dalam sejumlah hal lainnya. Perbedaan ini kemudian memicu Inggris mencoba menerjemahkan kebijakannya agar doktrin politik luar negerinya tetap tercapai. Di satu sisi Inggris adalah sekutu setia AS yang akan senantiasa diminta bantuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun di sisi lain, Inggris sebetulnya merupakan rival AS yang harus diperhitungkan. Kebijakan politik luar negeri Inggris yang hampir sama dengan AS jelas akan mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan. Contohnya adalah dalam kasus perebutan kepentingan ekonomi di kawasan Timur Tengah. Inggris sudah sejak lama menanamkan agen-agennya di Timur Tengah untuk mengamankan kepentingannya. Namun, sejak Perang Teluk I usai, kestabilan kepentingan dan keberadaan agen-agen Inggris di Timur Tengah mulai bergeser atau bahkan mulai terkikis oleh kepentingan dan agen AS. Ladang-ladang minyak dan hasil bumi lainnya mulai tersedot ke Amerika. Belum lagi tingkat loyalitas para pemimpin di negeri Muslim. Pada awalnya, bisa dipastikan bahwa mereka semua adalah agen Inggris. Namun, pasca Perang Teluk I kondisinya mulai berubah. Mereka mulai memberikan loyalitasnya kepada AS. Kondisi ini tentu sangat merugikan kepentingan Inggris.

Dari sinilah mengapa pada akhirnya dengan masuknya para tokoh Islam yang kritis terhadap AS di Inggris justru menjadi ‘berkah’ tersendiri bagi Inggris. Keberadaan mereka kemudian disulap menjadi bentuk dukungan real dari salah satu komponen masyarakat untuk memenangkan persaingan dengan AS. Selain itu, mereka juga dijadikan tempat produksi ‘senjata’ kritik ampuh yang mudah didapat untuk digunakan mengkritisi kebijakan AS. Namun, justru kebijakan ini pun menjadi ‘berkah’ lain bagi perkembangan Islam di Inggris.

Dari sini tampak jelas, bahwa walaupun kelihatan bertentangan, pada hakikatnya kebijakan luar dan dalam negeri Inggris tetap sama, yaitu untuk kemajuan dan kejayaan Inggris sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar